Jumat, 11 Maret 2011

Cintanya... Cinta kami (2-end)

Mas Jefri dan Dinda baru bertemu 2 kali, jika ada yang bertanya padanya "Sejak kapan kamu kenal dengan Dinda?" tuturnya, dengan lugas ia akan menjawab "Sejak dia ada...". Wowwww so sweet pikirku.

Inilah keterkejutanku berikutnya, "Aku kenal dia semenjak dia lahir, wong aku yang ngurus dia waktu kecil sampai usia 2 bulanan" cerita mas Jefri, melongo aku dibuatnya. "Dulu aku besar dan sekolah di Bogor, dan guruku itu ayahnya Dinda. Aku sudah kenal ayahnya Dinda sebelum beliau menikah, wong kalau dia ketemu sama ibunya Dinda dulu aku selalu dibawa dan menemani mereka. Kan cewek dan cowok dilarang berduaan tanpa seorang mahram" jelasnya, subhanallah pesantren rupanya pikirku.

"Biasanya kan letak asrama dengan rumah guru itu berdekatan, jadi aku sering main ke rumah ayahnya Dinda dan saat Dinda lahir, aku juga yang menungguinya. Tak salah kan kalau kujawab kenal dia semenjak ada?" kenangnya dengan senyum secerah perasaannya saat ini. "Setelah itu aku pindah ke Jakarta dan ketemu dengannya lagi saat Idul Fitri saat Dinda berusia 2 tahunan, terus 14 tahun kemudian aku ketemu lagi sama dia. Terus kita ngobrol bentar, tukaran nomor HP". "Wow lama juga ya ga ketemu?" pikirku.

"Kita belum pernah ketemu lagi, dan komunikasi via HP aja. Dari dulu aku selalu mengenalkan mantan-mantan pacarku ke pacar-pacarku agar tidak ada salah paham, dan kesalahan yang kuperbuat saat ini yaitu aku belum pernah ngomong ke ayahnya Dinda untuk berpacaran dengan Dinda" kenangnya, rupanya hal itu berimbas ke hubungan mereka saat ini. "Usianya sat ini adalah setengah dari usia ku sekarang dan itu yang membuatku bimbang selama ini, tapi sejauh ini ia semakin mengerti aku. Lebih bisa memahami dan menyesuaikan diri, makanya dalam sehari kami teleponan 3 kali sehari" jelasnya, "Wow kayak minum obat aja, hahaha" sahut mba'Shanti. "Aku kan pulang ke Bogor cuma 2 minggu sekali, begitulah cara mantaunya. Lumayan jauh kan Bogor-Jakarta" tambahnya.

Kami berdua pun terseenyum mendengar penjelasannya. "Aku memanggilnya mama, dan ia memanggilku papa. Karena aku punya 4 orang anak angkat dan didepan mereka kami membahasakan diri papa-mama, terus kebawa deh" celotehnya. "Cie..cie.. kayak suami istri aja" candaku. "Ya udah kebiasaan sih, pertemuan kami kan jarang sekali. Jadi kalau ada waktu untuk bertemu, aku selalu memotretnya. Kan cewek cowok tidak boleh saling berpandangan terlalu lama, jadi aku selalu foto dia di setiap pertemuan. Saat dirumah baru deh diteliti, ow... jerawatnya kan kemarin-kemarin cuma 1. Sekarang udah nambah lagi" lanjutnya, hahahaha ketawa geli kudengernya. Lucu banget sih mereka.
***

Beberapa bulan yang lalu ayah Dinda berkunjung ke rumah mas Jefri seorang diri, ayah Dinda pun tak menyangka anaknya kini berpacaran dengan mantan anak muridnya. Beliau pun menanyakan keseriusan hubungan mereka, hal itu beralasan. Telah ada 5 orang lelaki yang berkunjung ke rumah Dinda, mungkin hendak berpacaran atau merasa telah jatuh hati pada sang buah hatinya. Mengetahui hubungan anaknya dengan Jefri membuat sang ayah ingin memastikan satu hal, apakah ini sekadar pacaran atau bagaimana?

Menurut penuturan sang ayah, ibu Dinda pernah mengetes Dinda. Sejauh mana perasaannya dengan Jefri, dengan mengizinkan kelima lelaki tersebut untuk berkunjung kerumah. "Dinda pernah kabur dari rumah karena itu, waktu itu dia nelpon sambil nangis. Kupikir kenapa ni anak nangis-nangis, ternyata dia kabur dari rumah karena ga mau sama mereka. Akhirnya kujemput dia di Kalideres dan kuantarkan pulang ke Bogor" terangnya, "Ckckckck...." jawabku sederhana.

Sambil sesekali kulihat kondisi cuaca di luar melalui jendela disebelah kananku, ternyata cerah. "Setelah kejadian itu, ku datang lagi ke rumah Dinda bersama keluarga untuk menjelaskan keadaan kami. Dan Kamis 10 Maret 2011, kami akan tunangan dulu. Kan Dinda baru kelas 2 SMA, aku tanya ke kepala sekolahnya perihal keinginan kami untuk menikah. Tapi pihak sekolah tidak mengizinkan, karena minimal seorang wanita menikah saat berusia 17 tahun. Aku pun mengajar disekolahnya Dinda, teman-teman Dinda ga tahu kalau kami sudah kenal sejak ia masih kecil" ceritanya. Subhanallah, kuasa ALLAH begitu besar hingga mempertemukan mereka di usia yang terpaut cukup jauh.

"Kami harus menanyakan kepada seluruh keluarga dari pihak Dinda dan tetangga sekitar rumah
Dinda buat setuju dengan hubungan kami. Jadi semua tetangga dilingkungan rumah Dinda kita tanya, saudara kandung Dinda, saudara ibunya, saudara bapaknya, bahkan adik dari ibunya yang ada di Mesir harus kami telpon buat tanya setuju ga kalau Dinda berhubungan serius dengan Jefri. Itu semua dilakukan agar tidak ada yang mengganjal nanti didepannya" terangnya pada kami. "Wah baru tahu aku, ada adat seperti itu" batinku.

Tak jarang ada orang yang bertanya tentang mas Jefri, para tetangga dilikungan rumah Dinda tentunya. "Orangnya seperti apa? Karakternya bagaimana?" pertanyaan yang sering mereka ajukan. Unik ya adat kebiasaan daerah sana.
***
Cincin pertunangan pun telah selesai dipesan dan dibuat, '"Awalnya kupilih cincin emas, ternyata baru kutahu cowok itu ga boleh pakai emas. Bertanya kesana kemari, kutemukan juga cincin yang sesuai dengan berbahan platinum/platina; termasuk dalam golongan logam mulia" ucapnya, "Harganya kisaran berapa mas?" tanya mba'Shanti. "Iya tu mas, harganya berapa? Buat referensi mba'Shanti yang akan segera menyusul" candaku.

"Hm... harganya 35juta-an, karena buat desain sendiri dengan ukiran nama juga sehingga butuh tambahan biaya 4,5 juta. Dapat bingkisan dan diskon itu kok, kalau beli satu aja harganya mahal. Kita cari-cari orang Martapura, siapa tahu bisa dapat harga lebih murah. Segitu deh dapatnya" jelasnya. "Ha? 35juta-an? Cincin doang?" sahutku tak percaya. Mba'Shanti pun bereaksi sama. "Waktu sama Icha juga udah sempat DP rumah, tapi karena putus ya di cancel deh. Hangus uangnya" tambahnya

"Ya mo gimana lagi, kan untuk sekali seumur hidup. Ga boleh pakai emas, masa' cuma ceweknya aja yang pakai. Dinda bilang sih jangan yang mahal, biasa aj. Tapi dapatnya segitu, itu juga belum bilang. Nanti aja pas harinya saya kasih tahu" jawabnya. Melihat keterkejutan kami, mas Jefri sepertinya paham "Ada yang 4 jutaan kok, tergantung pilihan modelnya aja" tambahnya dengan ringan. Tetep aj... sayang banget uang segitu, hiks hiks.

Cincin itu terukirkan nama mereka berdua, dan bila kedua cincin tersebut digabungkan akan membentuk hati dan kata-kata yang telah diukir didalamnya. Membayangkannya saja sih sudah pasti bagus, tapi dengan harga 35juta? Oh tidak untukku, masih banyak hal yang lebih penting.

Disaat pertunangan nantinya, akan diundang kelima lelaki sebelumnya pernah berkunjung ke rumah Dinda sebagai pertanda dan jawaban bahwa Dinda sudah ada yang punya.

"Berarti harus punya suami yang kaya dong kalau mau cincinnya kayak gitu?" canda mba'Shanti, dan disanggah mas Jefri "Ya ga lah, cari yang rajin nabung aja. Bisa kok". Sungguh tak terlihat dari sosoknya yang begitu sederhana dan apa adanya.
***

Pertanyaan sederhana yang diajukan Dinda sebelum mereka berpacaran, "Masih ingat hari lahirku?" tanya Dinda, "Ya masihlah..." jawab mas Jefri pada kami. Jelas aja masih ingat, orang dia yang nungguin saat Dinda dilahirkan. Syarat yang diajukan Dinda kepada mas Jefri pun cukup langka diberikan, "Kalau di angkutan umum jangan duduk disamping cewek yang belum nikah dan orang yang sedang menyusui" tutur mas Jefri. "Ha? Ada-ada aja sih, terus gimana dong?" tanyaku. "Ya kalau benar yang disampingku itu belum nikah, ya saya pindah tempat duduknya. Yang repotnya, gimana caranya agar tahu dia udah nikah atau belum?" jawabnya dengan bingung. Iya juga sih, paham... paham
***

Adzan ashar pun berkumandang, tepat mengakhiri cerita mas Jefri pada kami. Subhanallah... jalan jodoh sungguh luar biasa. Kami tinggalkan segala aktifitas dan sholat secara bergantian.

Semakin sore, mas Jefri pun izin pulang. Beliau gugup menjelang hari pertunangannya. "Jarang ketemu, komunikasi hanya via telpon kan jadi makin berasa kangen en cintanya" candanya. Dan diakhiri dengan info terbaru "Ya Bekti, temanku yang kumintai tolong untuk mendetect data itu sekarang dia lagi diluar kota. Tepatnya diluar pulau sih, pulang lagi ke Jakarta 1 bulan lagi, kira-kira April atau Mei deh" ucap mas Jefri, wuuuuuuiiihhh tak bisa berkata apa-apa lagi "Ya udah, kalau teman mas Jefri udah balik kasih info ke kita ya. Hardisknya biar disini aja deh, siapa tahu Bu Indah punya teman yang bisa memperbaiki" sekenanya.

"Ku kan menjaga dari dia lahir, sampai tua pun akan kujaga (saat menjadi istri maksudnya)" tambahnya mengakhiri percakapan kami.
***

Alhamdulillah seluruh keluarga Dinda dan tetangga merestui langkah mereka, dengan kesabaran ekstra mas Jefri masih harus menunggu 1 tahun lagi untuk menuju jenjang pernikahan. satu tahun lagi Dinda menginjak kelas 3 SMA.
***
Mas Jefri kembali ke rutinitasnya, menuju Jakarta untuk pekerjaan berikutnya. Dan sambil mempersiapkan segala sesuatu untuk acara pertunangannya di Bogor. Kami pun kembali ke pekerjaan masing-masing, mba'Shanti mulai lagi meng-input iklan-iklan yang masuk dan aku harus kembali dari awal meng-entry omzet iklan dari tahun 2009. Hari semakin sore dan tak terasa sudah pukul 17.00 WIB, saatnya pulang!!! Esok ku harus lebih semangat lagi meng-entry data-data itu.
***

Saat ditiupkankan ruh ke rahim seorang ibu, calon manusia-calon khalifah muka bumi. Maka ALLAH memerintahkan kepada malaikat untuk menyertakan empat perkara: rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya dan akan menjadi orang yang sengsara atau bahagia. Apakah jodoh juga disertakan didalamnya?

Akan tiba saatnya... di waktu yang tepat dan orang yang tepat, yakinlah bahwa pada akhirnya akan indah terasa. ^^
***

Cerita diatas bukan fiksi semata dengan nama yang disamarkan. Tidak mengurangi konteks yang ada. Cerita ini ditulis oleh Bekti, dibantu oleh mba'Shanti dan rekan-rekan yang lainnya. Semoga bermanfaat
Read More...

Cintanya... Cinta kami (1)

Berkutat dengan komputer meski terkadang jenuh, namun tetap terasa mengasyikan karena selalu dapat browsing informasi-informasi ter-update melalui internet. Jika virus kemalasan dan kepenatan mulai menghinggap, apalagi kalau sudah terasa pegal jari-jari ini untuk menginput data-data keuangan. Cara paling ampuh yang ku tempuh yaitu dengan minum sedikit air teh yang setiap harinya disediakan oleh sang OB, yang rasanya tiap hari kian berubah tak pernah sama. Hari ini belum kutemui segelas besar air teh hangat, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 08.47 WIB dan OB yang bertugas hari ini adalah mas Anto. Biasanya jam-jam segini sudah tersedia, mungkin masih sibuk dengan dapur yang belum dibersihkan di lantai atas; tepatnya di lantai 3 kantorku.

Masih kuingat rasa teh hari Kamis 10 Maret 2011, hmmmm manis pahit-pahit. Takaran gulanya kurang pas dilidah, kadang merasa lucu sendiri rasa teh yang kurasakan selama bekerja disini; terkadang manis, cukup manis, sangat manis, hambar, dan pahit. Belum lagi aroma dari tehnya yang terkadang harum, aneh dan menyengat. Apa para OB beli tehnya tiap kali belanja beda-beda ya untuk mencoba-coba merek tertentu? Pertanyaan itu tak berani kutanyakan kepada OB yang sering belanja; mas Anto dan mas Dewa, sungkan dan tak sopan rasanya. Memang dasar kurang bersyukur, disediain banyak ngeluh dan tidak disediakan merengek; astagfirullah...

Tak lupa setelah minum air teh, ku minum sedikit air putih untuk menetralkan rasa teh yang masih terasa begitu kental pahitnya di lidah yang selalu ku bawa dari rumah, trauma aku minum air isi ulang galon yang banyak dijual dipinggir jalan namun kalau minumnya dalam keadaan panas atau hangat tak mengapa. Lagi-lagi ku tak suka air hangat, aneh rasanya dan anta yang kurasa. Terakhir kali kuingat minum air dingin dari isi ulang tersebut ditahun 2010 lupa bulan pastinya, sudah 2 kali kucoba di waktu yang berbeda dan tetap sama hasilnya yaitu di malam harinya buka tutup pintu toilet; diare. Setialah tempat minum tupperware biru dan coklat selalu menemaniku ke kantor setiap hari dan berseling ku membawanya, hari ini yang biru dan esok yang coklat. Minum sudah... tinggal meregangkan otot-otot kaki dan tubuh bagian bawah yang mulai terasa pegal dengan berdiri sejenak sambil melihat pemandangan luar dari atas kantor. Letak ruanganku berada di lantai 2, kulihat deretan motor dibawah belum bertambah yang artinya di kantor ini baru ada diriku dan pak Awan.

Ingin sekali datang ke kantor agak telat, tapi aneh juga rasanya. Biasa datang pagi dan ontime, begitulah ajaran dari ibu dan bapak. Sekali waktu pernah coba berangkat agak siang jam 07.30an yang ada malah diomelin ibu, "Kerja kok berangkatnya siang? Memangnya ga dimarahin bosnya apa?" komentar ibuku dengan suara melengkingnya, membuatku malu; kan tetangga nanti pada dengar. Selain itu udara dan jalanan juga sudah terasa panas, berasa banget di tangan. Akhirnya paling siang ku berangkat dari rumah jam 07.00 kecuali hari Sabtu berangkat jam 07.30 karena tahsin dulu jam 08.00-10.00. Itupun sampai kantor masih menjadi orang pertama sampai di kantor, sejauh ini peringkat absenku masih tergolong 3 besar; dan paling rendah posisi ke 11, karena ada keperluan tentunya.
***

Pukul 10.56 WIB alhamdulillah kantor sudah mulai agak ramai, minuman sudah tersedia di atas meja kerjaku. Pekerjaan meng-input data sudah kulakukan sejak tadi setelah selesai membaca beberapa artikel dan headline news di surat kabar lokal Depok, koran tersebut merupakan terbitan dari tempat ku bekerja. Diselingi dengan suara lantunan ayat-ayat Al-Qur'an dari Abu Baker Al-Shatiri, obrolan dengan mba'Shanti rekan kerjaku dan berada disatu ruangan yang sama denganku; sang bendahara, yang bercerita tentang acara di TV semalam yang menampilkan pemberian penghargaan kepada Alm.Benyamin S dan ditimpali oleh pak Jali; sang Manager Periklanan, letak ruangannya tepat berada didepan ruang kerjaku. Ruang kerja kami memang bersebelahan, ruang HRD dan keuangan hanya dipisahkan oleh triplek yang dibuat agak tebal seperti tembok serta dibagian atasnya diberi sedikit ruang udara, sehingga antar satu ruang dengan yang lain akan terdengar suaranya. Ruang HRD ditempati oleh sang Sekretaris Redaksi & Manager Periklanan, sedangkan ruang periklanan dihuni oleh 3 orang staff; Bendahara, Accounting dan Penagih. "Iya tuh, saya juga nonton..." sahut pak Holi kepada kami, "Masya ALLAH si Andin, saya kaget ngeliat pakaiannya. Depannya sih cakep, pas belakangnya beuuuu... Kirain sinderbolong. Saya bilang ke istri, itu kalo belakangnya dilepas 1 aja... udah deh copot semua" lanjutnya diselingi dengan tawa khasnya. Mb'Shanti tertawa mendengarnya, tapi kuhanya senyum-senyum aja karena ga ngerti maksudnya dan lagi ga nonton acara tersebut.
***

Teringat kejadian 2 hari yang lalu, tepatnya Rabu 9 Maret 2011. Masih segar dalam ingatan, ucapan-ucapan mas Jefri saat berkunjung ke kantor untuk memperbaiki program yang kugunakan dalam bekerja.

Hari itu, ku mendapat kabar dari Bu Indah bahwa mas Jefri akan datang ke kantor. Kuperkirakan beliau akan sampai dikantor jam 14.00an, karena sebelumnya datang sekitar jam itu. Ternyata perkiraan ku meleset, mas Jefri sampai jam 11.00an. Agak pangling melihatnya, padahal baru beberapa bulan yang lalu berkunjung dengan keperluan yang sama; meng-update GL (General Ledger). Kulihat ia tampak agak lebih kurus, dengan potongan rambut baru lebih pendek dari sebelumnya. "Akhirnya datang juga" sapa ku dengan sebuah senyuman, berharap dengan kedatangannya dapat memperbaiki komputerku. Rabu 2 Maret 2010 komputer kantorku lagi caper (cari perhatian), pasalnya data-data pekerjaanku sudah tidak bisa diakses lagi. "Ini mah hardisknya udah rusak banget" suara mas Itan memecah keheninganku yang sedang membayangkan bahwa semua peristiwa yang ku alami saat ini hanya mimpi, "Terus gimana donk mas Itan? Datanya sama sekali ga selamat?" sahutku masih berharap-harap. Wajah mas Itan tanpa dosa dan dengan enteng berkata "Ya ga bisa, memangnya belum di-backup?" makin nelangsa ku  mendengarnya, "Belum sempet mas, padahal rajin di scan dan update antivir" sesalku.

"Kenapa komputernya?" jawab mas Jefri yang membuyarkan lamunanku, "Itu mas... hardisknya rusak, terus data-dataku ga bisa diselametin. udah diinstal ulang sama mas Itan, tapi program GL-nya ikut hilang juga. Untung masih ada data GL-ku di komputer mba'Shanti" pada akhirnya data yang selamat itu hanya April 2009, sedangkan yang lainnya hanyut tak berbekas. Arrrrggggghhhhhh teledornya, bagaimana bisa? Masa harus input dari awal lagi sih?

Arsip-arsip itu tetap membisu, mungkin kalau arsip itu bisa bicara mereka akan berkata "Hehe, asyik bermain lagi dengan Bekti". Uhhhh sebelllllllll. Kubiarkan mas Jefri mengambilalih komputerku dan tak lupa kupesankan minuman untuk dibuatkan sang OB, kabar buruk itu datang lagi dari mas Jefri "Ya, ga bisa ni... Ga ada yang lain datanya?" yang hanya kujawab dengan gelengan kepala, lemas sudah. "Ya mau gimana lagi? Saya instal program yang lama aja ya? Tapi kosong ni formnya, Bekti harus input lagi dari awal. Makanya di-backup, kan udah diingetin bulan lalu kan? Minimal tambahin kipasnya, biar ga cepat panas. Atau beli hardisk eksternal, murah kok sekarang 600ribuan yang 325 Gb (kalau ga salah ingat)" tuturnya dengan senyuman hangat.

Pasrah, satu kata yang telah terpatri begitu dalam setelah mendengar ceramahnya. Dengan lemas namun berusaha bangkit ku jawab "Hehe, lupa mas. Yahhhh mo gimana lagi? Penyesalan memang datang terlambat, sedih banget", dan dengan ringannya mas Jefri melanjutkan "ga sedih kok, cuma sabar aja ya harus input lagi. Hahaha" Hufff...

Percakapan pun mulai mengalir dari bahasan kabar-kabari, kerjaannya mba'Shanti, dan kegiatannya mas Jefri. Kumandang adzan dzuhur pun mulai terdengar, makan siang untuk mas Jefri pun sudah disediakan oleh mas Anto. Ia lebih memilih untuk sholat terlebih dahulu, yang pada akhirnya aku dan mba'Shanti makan siang dulu; bergantian untuk sholat di mushola sambil menjaga ruang keuangan.
***

Tak lama kemudian setelah mas Jefri selesai sholat dan kami telah menghabiskan makan siang, datang mas Anggono; sang Penagih sirkulasi dan iklan dikantorku, alhamdulillah ada mas Anggono yang dapat menemani mas Jefri selama kami sholat. Saat melantunkan firman-Nya beberapa ayat selepas sholat, ku mendengar sedikit banyak obrolan mereka. Letak mushola yang berdempetan dengan ruanganku membuatku dapat mendengar secara tak langsung sayup-sayup percakapan mereka. Pembicaraan antar pria ga jauh-jauh dari kisah cinta, pekerjaan, komputer dan lain-lain.
***

Tiga jam sudah mas Jefri berkutat dengan program GL, harus instal ulang, berusaha menghubungi rekan-rekannya yang kiranya dapat membantu men-detect data di hardisk tersebut dan ia pun langsung memberi informasi terbaru padaku "Bekti, hardisk-nya boleh ku bawa? Ku coba minta tolong ke temanku, semoga aja bisa terselamatkan" hal itu membuatku sedikit bersemangat lagi. "Ya ga apa-apa kok kalau mau dibawa, mudah-mudahan bisa" harapku.
***

Perbincangan masalah pribadi pun mulai terkuak perlahan-lahan dengan basa-basi sebagai bumbu awalnya, "Kalian mengalami kesulitan apa saat memakai jilbab?" tanyanya. Kami malah kebingungan untuk menjawabnya, "Ha? maksudnya?" ceplosku dengan polosnya. "Itu... kalian saat awal-awal memakai jilbab kesulitan gimana? Apa ribet makainya? Kepanasan terus?" lanjutnya, "Owwww..." jawab kami serempak, "Awal-awal sih iya, paling belum terbiasa makai kerudung kalau mau keluar rumah" jawab mb'Shanti dan kutambahi dengan anggukan kepala tanda setuju.

Diruangan dengan ukuran 4x5 meter, kisah perjalanan cinta mas Jefri pun tercurah sudah. Kami; minus mas Anggono-yang harus bertemu dengan agen-agen selanjutnya, menjadi pendengar yang teramat baik demi untuk membuat nyaman mas Jefri mengungkapkan cerita-ceritanya.
***

Muhammad Jefri, terlahir di kota Bogor dari pasangan yang berasal dari Madura-Bogor. Perawakankan tidak terlalu tinggi, hitam manis, rapi dan lembut. Ia bekerja di rumah, tidak mempunyai kantor. Sehingga pekerjaan-pekerjaan yang semuanya rata-rata berhubungan dengan program-program ia kerjakan di rumah. Siapa sangka dengan pembawaannya yang tenang dan lembut mengalir cerita cinta yang Subhanallah panjang jalannya. Menjalani proses pacaran dengan Icha selama 3 tahun tidak membuat bahagia pada akhirnya, ditahun pertama mereka berpacaran dan bertepatan dengan hari raya Idul Fitri keluarga mas Jefri bersilaturahmi berkunjung ke rumah Icha untuk memperkenalkan masing-masing keluarga. Sambutan tak hangat dari sang ibu Icha pun didapatkan oleh keluarga mas Jefri; dicuekin, tak disuguhi minum, dan dianggurin mereka terima tanpa berkeluh kesah. Betapa bijaknya ibu mas Jefri saat menerima perlakuan tersebut dengan berkata "Mungkin beliau sedang sibuk, mudah-mudahan besok-besok saat kita datang beliau lebih baik" dan 2 tahun berikutnya berturut-turut saat Idul Fitri keluarga mas Jefri pun masih berkunjung ke rumah Icha, namun perlakuan dari ibu Icha tidaklah berubah. Beberapa bulan setelah anniversary 3th masa pacaran mereka, terlontarlah kata 'break'. Icha meminta waktu selama 1 bulan untuk tidak berhubungan dulu, dan setelah waktu 1 bulan pada akhirnya Icha meminta putus "Bosan, dengan sikon yang begini-gini aja" katanya. Mas Jefri tetap tenang menceritakan hal itu, perjalanan hidup telah membuatnya lebih tegar dan pasrah tampaknya. "Ya begini-gini aja, karena saya belum berani berbuat lebih lanjut. Bapak dan saudara-saudaranya menyetujui hubungan kami, tapi mentok di ibunya" jelasnya pada kami, kami pun bersimpati padanya. "Ibunya itu pengen si Icha punya pacar yang tinggi, ganteng, putih dan mancung. Saya ga berani melangkah lebih jauh, karena mentoknya dari dulu ya itu-itu mulu" terangnya sambil tersenyum. Hal itu membuat kami gemas kepada ibu Icha, "iiihhh siapa sih yang pengen nikah? Ibunya atau si Icha?" jawab mba'Shanti, yang lagi-lagi aku sepakat dengannya dan cepat-cepat beristighfar.

"Pada masa 1 bulan break itu, aku ketemu dengan Dinda. Dinda pun mulai masuk dan Icha tergantung ga jelas. Akhirnya Dinda masuk dan dengan Icha putus" lanjutnya dengan semangat ingin menceritakan hubungannya dengan Dinda.
***

Cerita-ceritanya membuatku tertegun, terkejut dan refleks terkadang ku keceplosan "iiihhh kayak di novel-novel aja ya" atau "kok sinetron banget ya? Ga nyangka deh" yang ditimpali mas Jefri dengan guyonan "Bekti nonton sinetron mulu ya? Gitu mulu ngomongnya", "hehe, ya ga lah. Ya habis memang gitu sih" jawabku yang tak mau kalah.

Bagaimana tidak... Tahukah kalian siapa Dinda? Bagaimana mereka bertemu?
 ---to be continue--
Read More...

Jumat, 04 Maret 2011

Aku Mencintai Suamiku (berbagai sumber)



Cerita ini adalah kisah nyata…

dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam sebuah laptopnya.


Bacalah, semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua.


***


Cinta itu butuh kesabaran…

Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???

Hari itu.. aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita..

Aku menjadi perempuan yg paling bahagia…..
Pernikahan kami sederhana namun meriah…..
Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.

Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula.

Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.
Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu..

Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci….


Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku… sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku.


Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi.
Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku.
Dan aku bahagia menikah dengannya.


***


Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami.


Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya.
Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku…

Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.


Tapi keluarganya mulai resah.

Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku…


Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, aku dihina-hina oleh mereka…
Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur.

Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi seorang janda itu.
Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan.

Aku selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al – Qur’an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.


Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga.. aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku.

Mereka tertawa menghibur suamiku.
Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.

Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum” dan mereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup.
Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat.

Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.
Lalu.. Ibu nya berbicara denganku …

“Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri”.

Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku.

Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga.
Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.


Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin.

Dan suamiku pun mengijinkannya. Kemudian aku pun menemaninya.

Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, ”lebih baik kau pulang saja, ada kami yg menjaga abang disini.
Kau istirahat saja. ”
Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil.

Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku. Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama.

Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya Salah ataupun Tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.


Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.

***


Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain.


Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggil ku ke taman belakang, ia baru saja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.


Aku bertanya, ”Ada apa kamu memanggilku?”

Ia berkata, ”Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang”

Aku menjawab, ”Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?”


“Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mama ku”, jawabnya tegas.

“Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?“, tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.


”Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas.

”Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?”, lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku.

Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya.
Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.

Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama Suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena Suamiku sangat sayang padaku.


Kemudian aku memutuskan agar ia saja yg pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.
Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit.

Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.


Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya.

Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya.


Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi.

Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku.

Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya.


Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.


***


Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri.

Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.


Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali.

Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan.
Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana.
Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3.


Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi..

Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan.

Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.
Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya, “kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu..

Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku..

Lebih baik aku tutupi dulu tentang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang. Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung…

Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk.
Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms. Ia menulis, “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi, aku akan kabarin lagi”.

Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah.


Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini.
Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam.

Sebelum masuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami.
Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya..



Masya Allah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku..
Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta.

Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.


***

Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar.

Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.
Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?

Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuaku dan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!!”.

Telpon pun langsung terputus.
Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku. Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya.

Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah..
Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang.

Aku hanya berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya.


***

Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan.


Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna.

Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiakan segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum.

Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.


Bersyukurlah..
aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.
Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri.

Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.
“Ya, ada apa Yah!” sahutku dengan memanggil nama kesayangannya “Ayah”. “Lusa kita siap-siap ke Sabang ya.” Jawabnya tegas. “Ada apa? Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan.

Astaghfirullah.. suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.


Dia mengatakan ”Kau ikut saja jangan banyak tanya!!”
Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi. Lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buatku.

Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini.

Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.
Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang.

Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku..


***

Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini..
Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami.

Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.
Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir, tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah besar itu, yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.

Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya.
Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan. “Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha”.

Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.
”Ada apa ya Nek?” sahutku dengan penuh tanya.. Nenek pun menjawab, “Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!!“.

Aku menangis..

untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?
“Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikah dengannya.

Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.
Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.

“Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya”, neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.
Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu.

Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, “kau maunya gimana? kau dimadu atau diceraikan?“


MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan.

Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku.
Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku..


Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau
kayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini. “Fish, jawab!.”

Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.
Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas.

Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah.
‘’Untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami..” Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi.

Dan pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.
Aku lalu bertanya kepada suamiku,

“Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah kita nanti, yah?”

Suamiku menjawab, ”Dia Desi!”

Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara,
”Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.
Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya 2 minggu lagi.”
”Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok”,

setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.


Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini.

Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi akutnya penyakitku..
Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini?

Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, “sudah tidak cantikkah aku ini?“

Ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya. Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri dibelakangku.

Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu.
Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan,

“terima kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.”


Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo.

Dalam hatiku bertanya, “mengapa ia sangat cuek?” dan ia sudah tak memanjakanku lagi.
Lalu dia berkata, “sudah malam, kita istirahat yuk!“

“Aku sholat isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang.

Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis.
Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya.
Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku.

Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga.
Sudahlah, ini mungkin takdirku.
Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu..


***


Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.

Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku.

Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Aku
save di mydocument yang bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.” Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar.

Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.


“Apakah kamu sudah siap?”
Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :

“Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu.

Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.
Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?”

Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar… “Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?”, pintaku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.

Dia mengangguk dan berkata, ”Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”, sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja.


Dia tersenyum sambil berkata, ”Kita lihat saja nanti ya!”. Dia memelukku dan berkata, “bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama”..

Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata,

“Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzinah! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah.”

Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata,
”Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah”.


Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.

Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali.
Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya,

”bunda baik-baik saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir.


Aku pun menjawab, “bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik, Yah.

Aku hanya tak bisa bicara sekarang“.
Karena dia akan menikah.
Aku tak mau membuat dia khawatir.
Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.


***



Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul pun dimulai.
Aku duduk diseberang suamiku.

Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat akan kondisiku.


Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku..

Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya… aku kuat.


Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan.
Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. hatiku menangis.


Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya.
Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini?

Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang di musuhi.

Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa?

Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui.
Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam sana.

Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah.

Kudekati lalu kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.
“Kamu datang ke sini, aku pun tahu”, ia berkata seperti itu.

Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku.

Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku”
Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi.

Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini..


Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?” Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan. Aku pun berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?” ”Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois.”

Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.
Lalu suamiku berkata, ”Bun, Ayah minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat “seperti itu” dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“seperti itu”). Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda..”


Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.


Aku hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan Yah.. Aku tidak pernah berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu?

Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah.. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu..

Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian dikamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga. Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.

***



Keesokan harinya…
Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku. Aku pun dilarikan ke rumah sakit.. Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku.. Aku merasakan tanganku basah.. Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran. Ia menggenggam tanganku dengan erat..

Dan mengatakan, ”Bunda, Ayah minta maaf…”
Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku? Aku berkata dengan suara yang lirih, ”Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah..”

“Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget sama Ayah.” Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.

Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil. Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku..

Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka.. Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah. Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.

Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu.

Ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama merestui hubungan kami.

Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya buktinya Ma?
Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma?

Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku..

Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya..”


***

Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.




=====================================================


Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku? Aku dihina oleh mereka ayah..

Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya.

Sangat terlihat Ayah..
Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah ? Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah.. Aku diusir dari rumah sakit. Aku tak boleh merawat suamiku.

Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.
Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku. Aku sangat marah.. Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan ibunya.. Aku tak mau sakit hati lagi.. Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku.. Engkau Maha Adil..

Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..
Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku.. Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu.. Aku kuat ayah dalam kesakitan ini.. Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku..

Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah..
Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu. Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui, tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku. Aku harus sadar diri. Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu..

Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?
Ayah.. aku masih tak rela.. Tapi aku harus ikhlas menerimanya.

Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya.

Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku.

Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir.

Sebelum ajal ini menjemputku.
''Ayah.. aku kangen Ayah..''



=====================================================


’’Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..


Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.
Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.’’ Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur..

Bunda akan selalu hidup dihati ayah..


Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..



Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.

Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu..


Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin Ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus..
Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..

Bunda.. kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui..


Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku..


Bunda.. maafkan aku..

Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang..


’’Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka.

Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja..


Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?

Apakah Bunda tetap menanti ayah disana?
Tetap setia dialam sana?


Tunggulah Ayah disana Bunda..

Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..
’’Ayah Sayang Bunda….’’

***********************************************


...sangat menyentuh & sarat akn makna yg dalam, menurutmu bagaimana saudara/i Q??
Read More...

Kamis, 03 Maret 2011

My Wish

Huh... bukankah setiap manusia pasti ingin tampil beda diantara yang lain?? Minimal menampilkan sedikit ciri khasnya lah ^^. Masih butuh waktu dan belajar terus untuk terus merombak tampilan blog ini.

Untuk artikel dengan tulisan tangan sendiri masih belum mampu, lebih mentargetkan untuk merombak tampilan blog ini dulu, terlalu banyak keinginan & fasilitas yang terbatas. Serta hanya bisa dilakukan dikantor, hehe memanfaatkan waktu senggang setelah atw sebelum bekerja.

Keinginannya c, blog ini dipenuhi dengan nuansa biru. Mencirikan ketenangan, kesejukan & tampilan fresh.
  • Pengen rubah header yang sesuai dengan background (biru)
  • Ada icon dolphinnya
  • Penuh keceriaan
Tapi sejauh ini yang ada bentrok mulu. Kurang banget ni fasilitas di komputernya, hiks..hiks... setelah dilanda kehilangan data-data kerjaan di kompi kantor terus sama IT-nya ga diinstalin Photoshop (minimal Photoscape lah), Flash, dan perangkat lainnya penunjang buat otak-atik ni blog. Mesti download gratisan software itu dulu deh, ckckck nasib..nasib.

Step by step mudah2an lekas terlaksana & terwujudkan tampilan blog idaman (hehehe, kayak suami idaman aj).
Read More...

Jadikan Ia Bidadari Ayah

by: Rojali Dahlan
sumber: eramuslim.com


Kebahagiaan akan disadari oleh manusia, ketika ia mulai pergi...


“Horee ayah beli mobil baru, hore ayah beli mobil baru, horee.....” teriak Dina, bocah kecil berusia lima tahun itu berjingkrak-jingkrak kegirangan, kemudian ia melompat-lompat dan berlarian mengitari sebuah mobil tipe baru berwarna silver mengkilap yang terparkir di carport depan rumah yang cukup luas itu.

Sekali-kali ia memeluk mobil itu seperti memeluk boneka mainannya. Sementara sang istri duduk di depan kemudi mencoba menghidupkan dan mematikan mesin mobil itu sambil memperhatikan semua interior mobil dengan seksama, takut ada cacat sedikitpun barang yang ia terima, mumpung sang pengantar mobil masih ada di sini, menyerahkan tanda terima barang plus semua asesories mobil kepadanya.

Ya, hari itu sang suami berhasil memenuhi keinginannya untuk memiliki mobil sendiri, memang bukan mobil mewah tapi cukup bergengsi untuk dimiliki oleh pasangan muda seperti dirinya, mobil sedan toyota Vios tipe G, seharga dua ratus jutaan rupiah.

Rani, sang istri merasa bahagia sekali, sebab keinginannya untuk pergi bekerja membawa mobil sendiri terkabulkan sementara sang suami hanya tersenyum kecut mengingat cicilan yang akan dibayarnya beberapa bulan kedepan.

Sebenarnya Hadi, sang suami enggan untuk membeli mobil itu pada tahun-tahun ini, mengingat kebutuhan dan penghasilannya masih belum cukup untuk menyicil mobil baru, belum lagi ia harus mencicil rumah baru yang cukup luas yang dibelinya dua tahun lalu.

Tapi kecintaannya pada sang istri membuatnya mengambil keputusan itu, apapun resikonya. Ia memang sudah berjanji kepada istrinya tentang dua hal jika ingin menikahinya, rumah luas dan mobil dan janji itu sudah lunas ia tunaikan, meski ia harus menelan ludah dalam-dalam.

Hadi bersandar di samping pintu rumah, dari kejauhan matanya berbinar menatap kegembiraan anak dan istrinya, sesekali ia menarik nafas dan mendesah dalam-dalam, ia berusaha tersenyum saat istrinya melambai meminta komentar dirinya tentang mobil itu.

Senyum yang berat yang harus ia kulum, seberat janjinya kepada sang istri, seberat beban kehidupan rumahtangga yang ia tanggung sendiri.

Pikiran Hadi menerawang kembali ke masa silam, masa dimana ia bertemu dengan Rani, seorang gadis pujaan para mahasiswa kampusnya, yang ia sendiri tidak mengerti mengapa ia nekat memperistri sang primadona itu.
Perkenalan Rani dan Hadi terjadi ketika mereka sama-sama kuliah di jurusan dan fakultas yang sama di universitas terkenal di Jakarta, keduanya pun melalui jalur masuk mahasiswa baru yang sama yakni PMDK.
Rani yang pintar dan cantik menjadi idola di kampusnya dan Hadi termasuk salah satu penggemarnya, meski hanya dalam hati. Bagi Hadi, mengingat Rani pada masa lalu, seperti mengingat sejarah masa silam yang tak mungkin bisa kembali, Rani yang dulu dikenal selama masa kuliah ternyata telah banyak berubah apalagi setelah lulus kuliah dan bekerja pada bank swasta nasional.

Dulu semasa kuliah Rani dikenal sebagai gadis bersahaja, tidak glamour dan tidak neko-neko. Ia supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Meski banyak pria yang jatuh cinta padanya, tapi tak satupun yang ia tanggapi, alasannya, ia tidak mau kisah cinta mengganggu kuliahnya, semua dianggap teman biasa saja.

Sikap Rani yang acuh terhadap asmara memang dilatar belakangi oleh kehidupan keluarganya yang amat sederhana bahkan bisa dibilang miskin sama seperti latar belakang dirinya, untuk itu Rani berniat kepada dirinya sendiri untuk tetap fokus pada kuliah dan karir, agar ia bisa menaikan taraf hidup keluarganya, bagi Rani kemiskinan harus menghilang dari kamus hidupnya, apapun caranya itu.

Karena sikap Rani yang cuek dan acuh itu, akhirnya banyak para pemuda yang mundur, hanya Hadi yang terus memantau, meski hanya dari jarak jauh.

Selepas kuliah dan telah mendapatkan pekerjaan tetap, Hadi memberanikan diri untuk mengkhitbah Rani, tapi Rani menolaknya, karena ia menginginkan cowok yang sudah mapan, bahkan tanpa tedeng aling-aling ia mengatakan bahwa calon suaminya harus sudah mempunyai rumah luas dan bermobil pula.

Akhirnya ia hanya minta waktu kepada Rani untuk mewujudkan semua itu dalam waktu tiga tahun. Tetapi Rani tetap enggan, hingga akhirnya Rani memilih calon lain yang sudah mapan, yakni seorang PNS pada departemen keuangan. Jadilah Hadi sedih bukan kepalang, ia hanya bisa meratapi nasibnya yang miskin dan papa.

Cinta yang disimpannya di sudut hati dan dirawatnya hingga mekar selama lima setengah tahun, kini layu bagai disiram air panas, menyisakan pedih dan perih, merontokkan mimpinya dan mengubur dalam-dalam angan dan khayalnya.

Perjuangan mempertahankan rasa cinta harus berakhir sebelum ia sanggup menahan beban kekalahan, sebelum ia sanggup menahan kekecewaan bahwa rencananya tidak semulus yang ia inginkan. Angannya yang terlalu tinggi ingin menikahi gadis pujaan membawanya terbang kealam mimpi yang menyakitkan.
Padahal, ia merasa yakin, kehidupan asmaranya akan diridhai Allah, karena ia tidak pernah melakukan perbuatan melanggar batas pergaulan lawan jenis, boro-boro bersentuhan tangan, menatap wajah perempuan saja ia tidak sanggup, apalagi berpacaran layaknya anak muda jaman sekarang. Haram, itulah yang terpatri dalam hatinya.

Semenjak ditolak Rani, Hadi mulai memperbaiki ibadahnya, mungkin kemarin ia merasa Allah belum berkenan memberikan rezeki kepadanya karena ibadahnya belum maksimal dan keikhlasannya belum terbukti, selama ini ia beribadah agar Allah mengijinkan ia menikah dengan Rani, begitu selalu doa yang ia panjatkan dalam setiap kesempatan, tapi kini hatinya mulai sadar, keikhlasan dirinya mulai menggumpal.
Ia tak lagi beribadah karena mengharapkan balasan, tapi semata-mata lilahi taala. Kini hatinya lebih tenang dan jiwanya lebih damai, ia pasrahkan jodohnya ke ilahi robbi, siapapun itu.

Dalam kepasrahan dan keikhlasan, Tuhan selalu mendengar doa hamba-hambanya, enam bulan setelah ia ditolak Rani, ternyata calon suaminya membatalkan pernikahan dengan Rani, tanpa alasan yang jelas, rumor yang ia dengar sang calon lebih memilih sekolah lagi di luar negeri atas biaya dinas dan dilarang menikah dahulu tanpa seijin atasannya.

Perasaan Hadi bingung mendengar kabar itu, apakah harus sedih atau gembira. Yang jelas, mendengar kabar itu menggumpalkan kembali butiran-butiran semangatnya yang sempat hancur berkeping-keping, merajutkan kembali remah-remah asmaranya kepada sang pujaan hati.

Esoknya, ia kembali mendatangi kediaman Rani dan bertemu dengan orangtuanya untuk melamar Rani. Orangtua Rani yang merasa malu atas pembatalan nikah sebelumnya, langsung menyetujuinnya, sedang Rani, meskipun setuju, ia masih tetap dengan syaratnya itu, yakni rumah cukup luas dan mobil, meski akhirnya bisa ia sanggupi enam tahun kemudian setelah pernikahan mereka.

Kini dengan hadirnya mobil sedan di garasi rumah itu, semua syarat istrinya telah ia penuhi, hatinya sangat bahagia meski semua itu ia penuhi dengan tetesan keringat dan darah, dengan luka dan airmata, dengan tebal muka dan pinggang patah-patah.

Bagaimana tidak, ia di-deadline oleh istrinya harus mengumpulkan uang ratusan juta dalam waktu lima tahun untuk mewujudkan semua itu. Ia terpaksa bekerja bagai mesin, pagi sampai malam, belum lagi mencari tambahan pada hari libur.

Kadang ia harus menebalkan muka untuk mencari hutangan untuk menutupi DP pembelian kedua asset itu yang nilainya pun tidak sedikit. Kadang harus bekerja sampai larut malam mencari sambilan mengerjakan proyek kecil-kecilan.

Pada tahun-tahun pertama ia tak perduli, tapi menginjak tahun keempat, ia mulai tidak kuat, semua energinya sudah terkuras habis, tapi hasil yang didapat belum seberapa. Nasib baik masih belum berpihak kepadanya.
Di saat gundah gulana seperti itu, pada saat keheningan malam memeluk erat sang waktu, bersamaan dengan saat Hadi pulang bekerja, Hadi hanya bisa duduk mematung di teras rumah, tak tega membangunkan istrinya yang telah lelap tertidur bersama sang bocah.

Sejumput kemudian ia melangkah menuju keran di pinggir carport dan mengambil wudhu untuk menghilangan kelelahan jiwa dan raganya, lalu ia sholat dua rakaat di teras rumah dan meneruskan dengan tangisan penuh harap kepada sang pencipta sampai ia tertidur di sajadahnya, begitu seterusnya yang ia lakukan setiap malam sampai azan subuh terdengar dan udara dingin menusuk-nusuk tulangnya, membangunkan dirinya yang terlelap di beranda rumah. Barulah kemudian ia membangunkan istrinya untuk menyiapkan sarapan pagi dan bersiap berangkat lagi, sang istri, hanya mengetahui bahwa suaminya pulang pagi karena sibuk mencari nafkah.

Demi cintanya pada sang istri, Hadi terpaksa bekerja siang malam tanpa henti, demi sebuah janji yang harus ditunaikan, ia relakan dirinya bersakit-sakitan, demi keutuhan keluarganya yang ia banggakan, terpaksa ia gadaikan separuh nafasnya demi kebahagiaan orang yang sangat dicintainya itu. Ia lakukan semuanya itu dengan ikhlas, demi sang bidadari pujaan hatinya.

Kehidupan mengalir mengikuti lekuk-lekuk sungai waktu, hanyut bersama cita-cita, mimpi dan angan-angan manusia. Dengan bermodalkan sebongkah harapan, bekal keimanan dan jala asa, mereka mengayuh bahtera rumah tangga menyelusuri sungai kehidupan itu, seraya berharap tiba ditujuan dengan selamat. Tapi takdir Allah jualah yang menentukan roda kehidupan mereka, tanpa seorang manusiapun yang sanggup mengetahuinya.

Karena bekerja terlalu keras, Hadi jatuh sakit, ia terserang lever akut, dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Dokter yang merawatnya hanya menyarankan agar ia mengikhlaskan semuanya, supaya penyakitnya tidak bertambah parah, ia paham apa maksud pernyataan dokter, sebab dokter tidak akan membohongi pasiennya yang tidak sanggup ia tangani.

Dalam lirih suara, hadi memanggil istrinya, yang tampak begitu terpukul akan kondisi hadi, ia hanya bisa menangis sesenggukan. "Rani sayangku" panggilnya, "ya sayang aku di sini di sampingmu.." jawab Rani, "dari hati yang paling dalam aku sangat mencintai kamu, aku sangat menyayangi kamu", Hadi berbisik lemah, "ya sayangku aku tahu itu, cintamu padaku tak pernah aku ragukan" Hibur Rani, "izinkan aku bicara sebentar saja, aku khawatir jika aku menundanya aku tak bisa lagi berbicara denganmu."

Kemudian, Hadi berkata dengan perkataan yang membuat tubuh Rani semakin tak berdaya, ia hampir kehilangan keseimbangan, tapi berusaha untuk mendengar lantunan suara suaminya yang semakin lirih, "Sayangku Rani, sejak pertama kali kita berjumpa, aku sudah menyisakan ruang kosong di sudut hatiku untuk dirimu, aku jaga jangan sampai ia terisi oleh yang lain, dan aku simpan rapat-rapat sampai aku yakin bahwa aku siap untuk melamar dirimu. Keyakinanku atas dirimu begitu kuat, kesabaranku menantimu begitu dalam, meski di tengah jalan aku sempat terluka karena rupanya aku hanya bertepuk sebelah tangan."

Hadi berhenti sejenak, ia memperhatikan kelopak mata istrinya yang makin penuh dengan airmata, airmata penyesalan karena pernah menolak manusia yang begitu sabar dan telaten menyayanginya.
Hadi meneruskan ucapannya, "Tapi sayangku, ternyata Allah sangat sayang kepadaku, ia mengembalikanmu kepadaku diriku lagi, bahkan menjadikan dirimu belahan jiwaku hingga engkau bisa menemaniku di sini, di saat-terakhirku ini, sayangku, hanya satu permintaanku, aku ingin engkau menjadi bidadariku di dunia dan akhirat, meski aku tahu, setelah kepergianku, engkau bebas memilih kembali pangeranmu, memilih orang yang akan mendampingimu meneruskan sisa-sisa hidupmu."

"Sayangku, tapi aku sudah sangat puas atas nikmat yang Allah berikan kepadaku selama ini, selama aku menjadi suamimu. Memilikimu merupakan anugerah terbesar dalam hidupku, maka demi menghargai anugrah itu akupun melakukan apapun demi kebahagiaanmu. Jika Allah berkehendak lain, percayalah itu sudah menjadi takdir antara kita dan aku tak pernah menyesal menikahimu."

"Sayangku ketika lidah ini masih bisa berucap, maka aku berucap kepadamu, maafkanlah atas kesalahanku selama ini, maafkan aku yang memaksamu menjadi belahan jiwaku, meski aku tak bisa memenuhi harapan-harapanmu. Jangan kau sesali pernikahan kita, sebab aku bangga dengan apa yang telah kita lakukan bersama, jaga dan rawatlah baik-baik anak kita, sampaikan salam kepadanya bahwa ayah hanya pergi sebentar, menunggu kalian dipintu surgaNya nanti."

Rani tak kuasa mendengar kelanjutan lirihan suara suaminya, rasa bersalah menusuk hatinya dalam-dalam, ia terlalu egois, ia terlalu naif, memaksakan beban kehidupan dirinya ditanggung suaminya sendiri, ia yang trauma terhadap kemiskinan, memaksakan kompensasinya ke orang yang begitu baik kepadanya, yang begitu sayang kepadanya, ia begitu otoriter.

Sebelum habis Hadi bicara, Rani sudah tak ingat apa-apa lagi, rasa sesal yang dalam ditambah rasa takut kehilangan membuat syaraf kesadarannya terlepas perlahan, ia pingsan di samping tubuh suaminya, yang makin lama suaranya makin tak terdengar, hanya suara "maafkan aku sayang, maafkan aku..., maafkan aku sayang..." yang muncul bergantian dengan kalimat tasbih, tahlil dan tahmid.

Terus berucap hingga hembusan nafas berhenti, dan jantung tak lagi berdetak. Hanya airmata terlihat mengalir dari kelopak mata sang suami, meski bibir tersenyum puas karena sudah memberikan yang terbaik untuk orang yang paling disayanginya.

Hampir dua jam Rani pingsan di sisi suaminya, yang kini telah menjadi jenazah. Saat ia terbangun, Rani belum menyadari, ia terus menangis seraya memohon maaf kepada suaminya atas sikapnya selama ini, sampai kedatangan dokter yang menyadarkan Rani bahwa suaminya telah pergi untuk selama-lamanya.

Nasi telah menjadi bubur, tetapi pintu maaf dari sang pencipta masih terbuka lebar. Rani yang telah menyadari bahwa kebahagiaan bukan hanya kekayaan, dan kemiskinan bukanlah suatu aib, kini perlahan mulai meluruskan jalan hidupnya, dan ia bertekad akan merawat anak semata wayangnya sendiri.

Empat puluh tahun kemudian di sebuah pusara yang masih basah, seorang wanita berjilbab masih tercenung di hadapan makam ibunya, perempuan itu, Dina, masih mendoakan ibu dan ayahnya agar dipertemukan kembali di surga.

Ia adalah harapan orangtuanya yang tersisa, yang melempangkan jalan pertemuan mereka kembali sebagai pasangan abadi, doa dari anak yang shaleh, yang menjadi pelipur lara kedua orang tuanya.

"Ya Allah ya Rabbi, ampuni kedua orang tua kami, dan kabulkan permintaan ibu yang sering ia ceritakan kepadaku, melanjutkan mendampingi ayah kami di surgaMu, dan jadikanlah ia bidadari ayahku, amin."
Read More...